Perkawinan Poliandri?
Tidak bermaksud untuk ikut mempergunjingkan, terlepas tentang adanya
pendapat umum dimasyarakat kita yang menyatakan bahwa perkawinan
poliandri merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap moralitas, dan akhlak masyarakat, baik ditilik dari ukuran
norma sosial, norma hukum, dan juga norma hukum.
Beranjak dari pendapat pro dan kontra tersebut, saya benar-benar merasa
tertarik untuk mengkajinya, dengan berharap tulisan ini dapat
bermanfaat bagi masyarakat luas. Kajiannya dimulai dengan rumusan
masalahnya adalah “Apakah seorang perempuan dan seorang istri yang
memiliki suami lebih dari satu (poliandri) dapat dikatakan suatu
kejahatan dalam perkawinan? Sedangkan apabila ditinjau berdasarkan
Konstitusi Republik Indonesia dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“.
Apabila perkawinan poliandri tersebut diatas kemudian dikaitkan
berdasarkan pengakuan dan jaminan tentang hak asasi manusia yang
tertuang dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tentang “hak untuk membentuk keluarga dan melajutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“. Maka pengertian tentang “hak untuk membentuk keluarga…”
bisa saja dipahami secara sederhana bahwa perkawinan poliandri
tersebut adalah merupakan hak setiap warga negara Indonesia tanpa
terkecuali. Tentunya penafsiran demikian masih dapat menimbulkan
polemik dimasyarakat, sehingga dapat mengganggu ketertiban tatanan
hidup bermasyarakat.
Maka dari itulah teks-teks yang terkandung didalam UUD 1945 masih belum
dapat dioperasionalkan kedalam masyarakat sebelum adanya peraturan
pelaksananya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih
lanjut. Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat 2 rumusan tentang
peraturan pelaksana yang berlaku di Indonesia, yakni ketentuan yang
berlaku bagi beragama muslim dapat merujuk berdasarkan ketentuan yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan),
sedangkan ketentuan yang berlaku bagi beragama non muslim dapat merujuk
berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata).
Dalam rumusan ketentuan masing-masing tersebut, ternyata terdapat
kesamaan bahwa seorang istri dan seorang wanita hanya diperbolehkan
mempunyai seorang suami, hal ini berdasarkan ketentuan yang tertuang
dalam:
- Pasal 1 UU Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang suami dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
- Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut : “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami“.
- Pasal 40 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut : “Wanita yang masih dalam ikatan perkawinan haram hukumnya melakukan perkawinan dengan laki-laki lain“.
- Pasal 27 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istri, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya“.
Terhadap kutipan pasal-pasal tersebut diatas, memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional (contitusional importance). Sehingga kaidah konstitusi tentang “hak untuk membentuk keluarga…” dapat dimaknai sejauh perkawinan tersebut hanya memiliki seorang istri dan seorang suami.
Lantas pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah dengan perkawinan
poliandri yang telah tercatat?. Dengan merujuk berdasarkan rumusan
pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan hanya
dapat berlaku bagi seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai
suami-istri, tanpa terkandung unsur pengecualian seperti dimaksud dalam
perkawinan poligami. Oleh karenanya dengan merujuk berdasarkan
ketentuan Pasal 3 UU Perkawinan, dan Pasal 27 KUHPerdata, maka lembaga
perkawinan wajib menolak pencatatan perkawinan poliandri, hal demikian
telah diamanatkan berdasarkan ketentuan :
- Pasal 24 UU Perkawinan menyatakan : “Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2), dan Pasal 4 Undang-Undang ini“.
- Pasal 86 baris ke-satu KUHPerdata menyatakan : “Kebatalan suatu perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan Pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami-istri, oleh si-suami itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis lurus keatas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan oleh jawatan kejaksaan“
Terhadap rumusan pasal tersebut diatas, menurut saya, hukum perkawinan
di Indonesia hanya mengenal rumusan tentang asas monogami, yakni
seorang istri atau seorang wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang
suami dalam perkawinannya. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut,
seyogyanya Lembaga Pencatatan Perkawinan di Indonesia wajib menolak
setiap pencatatan perkawinan poliandri.
Oleh karena berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka pihak-pihak
yang mempunyai kewenangan dalam mengajukan pembatalan perkawinan
poliandri adalah sebagai berikut:
- Non Muslim : salah satu dari suami-istri, oleh si-suami itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis lurus keatas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan oleh jawatan kejaksaan (Lihat Pasal 86 baris ke-satu KUHPerdata);
- Muslim : Para keluarga garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, suami atau istri, dan Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan sebelum dan/atau setelah diputus (Lihat Pasal 23 UU Perkawinan).
Sehingga terhadap pembatalan pencatatan perkawinan dimaksud, perkawinan
poliandri menurut hukumnya adalah tidak sah dan tidak dapat
dibenarkan. Dengan begitu, maka jelaslah sudah bahwa tidak terdapat
satupun pasal dalam hukum positif Indonesia yang dapat membenarkan
terjadinya perkawinan poliandiri, baik dengan atau tanpa
pengecualiannya.
Kemudian bagaimanakah konsekuensi hukumnya apabila perkawinan poliandri
dimaksud dinyatakan penolakannya oleh Lembaga Pencatatan Perkawinan?
apakah tidak dapat diterapkan sanksi kepada para pelakunya? Dengan
merujuk berdasarkan ketentuan hukum positif Indonesia, ditolaknya
pencatatan perkawinan poliandiri tersebut, konsekuensinya adalah
perkawinan itu tidak dianggap ada oleh negara, sehingga dapat dikatakan
bahwa setiap pelaksanaan kewajiban yang terjadi dalam hubungan
perkawinan poliandri sama halnya adalah perbuatan kejahatan terhadap
kesusilaan, dan dapat dihukum menurut ketentuan hukum Pidana yang
tertuang dalam Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
Akan tetapi ketentuan hukum pidana tersebut memang mengandung keterbatasan,
dikarenakan penuntutannya hanya dapat dilaksanakan apabila salah satu
dari pihak suami atau istri membuat pengaduannya kepada pihak yang
berwajib (Lihat Pasal 284 ayat (2) KUHP). Lantas kalau para pelaku
perkawinan poliandri tersebut tidak mempermasalahkan perkawinannya,
apakah masyarakat tidak dapat membuat pengaduan kepada pihak yang
berwajib? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
masyarakat dapat merujuk berdasarkan ketentuan hukum yang terkandung
dalam Pasal 281 KUHP. Alasan ini di kemukakan karena berdasarkan
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93 K/Kr/1976, tertanggal 19
November 1977, yang menyatakan “Delik adat zina merupakan perbuatan
terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita terlepas
dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti
diisyarakan oleh Pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan
apakah salah satu itu kawin atau tidak seperti dimaksud dalam pasal 284
KUHP“.
Kemudian mengenai ketentuan pidana lainnya, apabila dalam
pencatatan perkawinan poliandri tersebut dilaksanakan dengan cara
melawan hukum sehingga pegawai pencatatan perkawinan telah khilaf
melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga terjadi kelalaian dalam
melaksanakan pencatatan perkawinan, maka bagi si-pemohon pencatatan
perkawinan poliandri dapat diterapkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 279 KUHP, pendapat hukum ini didasarkan pada
penafsiran gramatikal yang terkadung dalam Pasal 279 KUHP tersebut.
Adapun kesimpulan akhir dalam pembahasan ini, menurut hematnya dalam
menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut diatas, seyogyanya
upaya-upaya hukum untuk mempidanakan terhadap bentuk-bentuk perkawinan
poliandri dimasyarakat adalah langkah yang terakhir, penyelesaiannya
tetap mengedepankan cara berdialog, dikarenakan penyelesaian secara
berdialog adalah penyelesaian yang lebih mulia dan bermartabat, hal ini
sesuai dengan amanat dan pengakuan yang terkandung dalam Sila ke-2 dan
Sila ke-5 Pancasila, yakni “Kemanusian yang adili dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar