Sabtu, 22 September 2012


Perkawinan Poliandri?

Gambar sisip 1

      Tidak bermaksud untuk ikut mempergunjingkan, terlepas tentang adanya pendapat umum dimasyarakat kita yang menyatakan bahwa perkawinan poliandri merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap moralitas, dan akhlak masyarakat, baik ditilik dari ukuran norma sosial, norma hukum, dan juga norma hukum.

     Beranjak dari pendapat pro dan kontra tersebut, saya benar-benar merasa tertarik untuk mengkajinya, dengan berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Kajiannya dimulai dengan rumusan masalahnya adalah “Apakah seorang perempuan dan seorang istri yang memiliki suami lebih dari satu (poliandri) dapat dikatakan suatu kejahatan dalam perkawinan? Sedangkan apabila ditinjau berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“.

      Apabila perkawinan poliandri tersebut diatas kemudian dikaitkan berdasarkan pengakuan dan jaminan tentang hak asasi manusia yang tertuang dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tentang “hak untuk membentuk keluarga dan melajutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“. Maka pengertian tentang “hak untuk membentuk keluarga…” bisa saja dipahami secara sederhana bahwa perkawinan poliandri tersebut adalah merupakan hak setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Tentunya penafsiran demikian masih dapat menimbulkan polemik dimasyarakat, sehingga dapat mengganggu ketertiban tatanan hidup bermasyarakat.

      Maka dari itulah teks-teks yang terkandung didalam UUD 1945 masih belum dapat dioperasionalkan kedalam masyarakat sebelum adanya peraturan pelaksananya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut. Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat 2 rumusan tentang peraturan pelaksana yang berlaku di Indonesia, yakni ketentuan yang berlaku bagi beragama muslim dapat merujuk berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), sedangkan ketentuan yang berlaku bagi beragama non muslim dapat merujuk berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam rumusan ketentuan masing-masing tersebut, ternyata terdapat kesamaan bahwa seorang istri dan seorang wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami, hal ini berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam:
  • Pasal 1 UU Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang suami dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

  • Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut : “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami“.

  • Pasal 40 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut : “Wanita yang masih dalam ikatan perkawinan haram hukumnya melakukan perkawinan dengan laki-laki lain“.

  • Pasal 27 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istri, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya“.
      Terhadap kutipan pasal-pasal tersebut diatas, memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional (contitusional importance). Sehingga kaidah konstitusi tentang “hak untuk membentuk keluarga…” dapat dimaknai sejauh perkawinan tersebut hanya memiliki seorang istri dan seorang suami.
Lantas pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah dengan perkawinan poliandri yang telah tercatat?. Dengan merujuk berdasarkan rumusan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan hanya dapat berlaku bagi seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami-istri, tanpa terkandung unsur pengecualian seperti dimaksud dalam perkawinan poligami. Oleh karenanya dengan merujuk berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Perkawinan, dan Pasal 27 KUHPerdata, maka lembaga perkawinan wajib menolak pencatatan perkawinan poliandri, hal demikian telah diamanatkan berdasarkan ketentuan :
  • Pasal 24 UU Perkawinan menyatakan : “Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2), dan Pasal 4 Undang-Undang ini“.

  • Pasal 86 baris ke-satu KUHPerdata menyatakan : “Kebatalan suatu perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan Pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami-istri, oleh si-suami itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis lurus keatas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan oleh jawatan kejaksaan
      Terhadap rumusan pasal tersebut diatas, menurut saya, hukum perkawinan di Indonesia hanya mengenal rumusan tentang asas monogami, yakni seorang istri atau seorang wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami dalam perkawinannya. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, seyogyanya Lembaga Pencatatan Perkawinan di Indonesia wajib menolak setiap pencatatan perkawinan poliandri.
Oleh karena berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dalam mengajukan pembatalan perkawinan poliandri adalah sebagai berikut:
  • Non Muslim : salah satu dari suami-istri, oleh si-suami itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis lurus keatas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan oleh jawatan kejaksaan (Lihat Pasal 86 baris ke-satu KUHPerdata);

  • Muslim : Para keluarga garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, suami atau istri, dan Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan sebelum dan/atau setelah diputus (Lihat Pasal 23 UU Perkawinan).
    Sehingga terhadap pembatalan pencatatan perkawinan dimaksud, perkawinan poliandri menurut hukumnya adalah tidak sah dan tidak dapat dibenarkan. Dengan begitu, maka jelaslah sudah bahwa tidak terdapat satupun pasal dalam hukum positif Indonesia yang dapat membenarkan terjadinya perkawinan poliandiri, baik dengan atau tanpa pengecualiannya.

      Kemudian bagaimanakah konsekuensi hukumnya apabila perkawinan poliandri dimaksud dinyatakan penolakannya oleh Lembaga Pencatatan Perkawinan? apakah tidak dapat diterapkan sanksi kepada para pelakunya? Dengan merujuk berdasarkan ketentuan hukum positif Indonesia, ditolaknya pencatatan perkawinan poliandiri tersebut, konsekuensinya adalah perkawinan itu tidak dianggap ada oleh negara, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap pelaksanaan kewajiban yang terjadi dalam hubungan perkawinan poliandri sama halnya adalah perbuatan kejahatan terhadap kesusilaan, dan dapat dihukum menurut ketentuan hukum Pidana yang tertuang dalam Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

     Akan tetapi ketentuan hukum pidana tersebut memang mengandung keterbatasan, dikarenakan penuntutannya hanya dapat dilaksanakan apabila salah satu dari pihak suami atau istri membuat pengaduannya kepada pihak yang berwajib (Lihat Pasal 284 ayat (2) KUHP). Lantas kalau para pelaku perkawinan poliandri tersebut tidak mempermasalahkan perkawinannya, apakah masyarakat tidak dapat membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, masyarakat dapat merujuk berdasarkan ketentuan hukum yang terkandung dalam Pasal 281 KUHP. Alasan ini di kemukakan karena berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93 K/Kr/1976, tertanggal 19 November 1977, yang menyatakan “Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti diisyarakan oleh Pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu itu kawin atau tidak seperti dimaksud dalam pasal 284 KUHP“.

      Kemudian mengenai ketentuan pidana lainnya, apabila dalam pencatatan perkawinan poliandri tersebut dilaksanakan dengan cara melawan hukum sehingga pegawai pencatatan perkawinan telah khilaf melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga terjadi kelalaian dalam melaksanakan pencatatan perkawinan, maka bagi si-pemohon pencatatan perkawinan poliandri dapat diterapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 KUHP, pendapat hukum ini didasarkan pada penafsiran gramatikal yang terkadung dalam Pasal 279 KUHP tersebut.

     Adapun kesimpulan akhir dalam pembahasan ini, menurut hematnya dalam menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut diatas, seyogyanya upaya-upaya hukum untuk mempidanakan terhadap bentuk-bentuk perkawinan poliandri dimasyarakat adalah langkah yang terakhir, penyelesaiannya tetap mengedepankan cara berdialog, dikarenakan penyelesaian secara berdialog adalah penyelesaian yang lebih mulia dan bermartabat, hal ini sesuai dengan amanat dan pengakuan yang terkandung dalam Sila ke-2 dan Sila ke-5 Pancasila, yakni “Kemanusian yang adili dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar